Meneladani Jejak Juang Seorang Edy
Oleh
Siska Irma Diana
Bernama
lengkap Edy Fajar Prasetyo, seorang pemuda yang lahir dan besar di Jakarta
Pusat. Semenjak kuliah, ia lebih banyak beraktifitas di Tangerang Selatan.
Namun kini, ia berdomisili di Kota Patriot, Bekasi. Pemuda kelahiran 17
September 1992 menempuh pendidikan di TK Rusdibra Kemayoran Jakarta Pusat, SDN 11
Pagi, SMP 59 Jakarta, SMAN 1 Jakarta
atau lebih dikenal dengan SMA Boedoet (Boedi Oetomo) dan S1 Agribisnis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Putra kelima dari pasangan Alm. Tupoan Ahmad Ikhsan dan
Ratna Nirmala Ningsih ini begitu gemilang dengan sederet raihan prestasi.
Pemuda
yang akrab disapa Edy ini memiliki banyak keahlian, ia merupakan penulis,
organisatoris dan pebisnis. Tiga buku yang sudah ia terbitkan berjudul Kami
Berani Beda, Ketika Sesuatu Harus dituliskan, dan Mencetak Generasi CLBK. Edy
juga berhimpun dalam organisasi Forum Indonesia Muda (FIM), BPH Market
(Masyarakat Kreatif Tangsel) dan ketua di Ikatan Pemuda Kreatif Indonesia
(IPKI). Edy juga merupakan pendiri Eco Business Indonesia (EBI) dan The Academy
Of Indonesia Public Speakers.
Tidak
heran, begitu banyak prestasi yang ia dapat, di antaranya sebagai Pemuda Hebat
Kemenpora RI 2018, peraih penghargaan Mentri Pendidikan, Menteri Koperasi &
UMKM, Bank Indonesia, Kementrian Agama
dan Kementrian Perindustrian, Awardee Course Education Copenhagen Denmark 2018,
Duta Pemuda Kreatif Indonesia 2017, Top 5 Wirausaha Muda Mandiri 2017, 3rd
Winner Asean Preneur Kuala Lumpur Malaysia, dan Guest Speaking King Mongkut
Institute Technology Ladkrabang Bangkok Thailand.
Eco Business Indonesia: Olah Sampah Menjadi Rupiah
Eco
Business Indonesia atau EBI, merupakan suatu usaha yang berkontribusi dalam
usaha pemberdayaan masyarakat di wilayah Tangsel, dengan memanfaatkan sampah
pelastik di perkotaan menjadi produk kreatif bernilai jual. Kini, EBI mampu
membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar.
Edy,
sosok pemuda kreatif selaku founder Eco Business Indonesia mengaku membangun
bisnis dengan keunikan. Ebi memiliki visi mencuptakan suatu ekosistem yang
ramah lingkungan namun juga memiliki dukungan financial yang baik. Selain itu,
terus percaya diri adalah spirit yang
selalu ia pegang. Dalam berbisnis, ia juga selalu membuka komunikasi dengan
komunitas dan organisasi. Meski sekadar membuka kases, tetapi menurut Edy,
dengan begitu koneksinya justru berkembang leih cepat.
Bisnis
bagi Edy merupakan satu sarana ikhtiar yang tidak semata berorientasi pada
profit, tetapi bagaimana bisnis dapat berdaya dan memberdayakan. Ia
mengumpamakan bisnis itu seperti kendaraan yang bisa cepat menuju sukses dan
memberikan pengaruh tanpa harus menunggu hingga jenjang Professor.
Berikut hasil wawancara seputar
Edy dan dunia Bisnisnya:
Dari mana memperoleh motivasi dan spirit
berbisnis?
Dulu,saat
di SMA kakak termasuk aktif ikut kegiatan ekstrakulikuler, ikut Rohis, Osis,
Pencak silat dan Futsal. Yang menarik di SMA Boedoet itu penggemblengan dari ekstrakulikuler, itulah yang banyak menempa softskill kemandirian, levelnya sudah seperti Unit Kerja Mahasiswa
(UKM). Disitu banyak mengasah keberanian kakak.
Cikal
bakal kakak memulai bisnis itu berdagangsaat di
SMP. Saat itu kakak jualan kopi seduhan. Jadi, tiap malem kakak jualan
di depan rumah. Awalnya kakak sering
lihat banyak pedagang kaki lima yang berjualan makanan. Kemudian kakak ngeliat
ada peluang nih, orang-orang yang jualan itu sering kakak seduhin kopi.
Sepulang sekolah, disamping SMP ada agen took-toko, akka beli satu renceng kopi
di sana jadi lebih murah. Modalnya dari
kakak kumpilin uang jajan malamnya kakak jual. Nah, dari situlah kepupuk jiwa
berdagangnya sampai SMA.
Sebelum
kakak di EBI, dulu kakak sempet buka usaha
aksesoris handphone. Awalnya
jual pulsa, intinya dagang kan memberanikan diri untuk usaha, itu waktu
SMA dari kelas satu. Di SMAjuga kakak
jualan nasi uduk, apapun yang bisa dijual sih, intinya memberanikan diri untuk
jualan. Kalo yang di SMA dari hari senin sampai jumat dan dulu sebenernya atas
ketidaksengajaan disitu kakak belajar main peluang.
Kakak
kalo ke Sekolah sering bawa bekel nasi uduk, beli di rumah makannya di sekolah.
Nah temen-temen banyak yang sering minta, lama-lama banyak yang s nitip.
Harganya kakak lebihin aja, misalnya, harga 3000 kakak jualnya 4000,lumayan
untuk ongkos kakak. Kok suatu waktu hampir satu kelas itu mau pesen, ya udah
kenapa enggabikin aja sendiri. Ibu kakak masakannya enak kan, dari situ istilah
pre order pertama kali memanfaatkan handphone yang cuma bisa SMS. Jadi kakak
sering nawarin ke temen-temen, ada yang mau order engga. Jadi udah jelas ketika
kakak bawa dagangan pasti habis. Karena orderan itu lumayan banyak, dari situ
kakak bisa bayar SPP sendiri, bisa beli satu sepedah fiksi, lumayan lah untuk
seukuran anak SMA waktu itu.
Adakah bakat bisnis dari orangtua?
Kalo
dilihat dari keturunan orangtua kakak sih dulu sempet punya warung dirumah.
Secara gak langsung mungkin tersirat untuk belajar berdagang.Setiap hari
ngeliatin ibu jualan dan di lacinya banyak uang, jadi menarik untuk jualan,
dari situ secara gak langsung kakak dapet nilai-nilai berdangan meskipun gak
diajarin secara langsung. Kalau Yah,
beliau ini kerjanya ini di PLN.Ayah kakak udah almarhum, ini masuk tahun kedua.
Jadi dulu. Karena dulu punya kompetensi di bidang listrik jadi banyak terlbat
di bidang vokasional.
Sejauh ini belajar bisnis dari mana saja?
Kakak
belajar dari banyak orang, dari banyak referensi, sumber buku, internet dan
segala macam.Kakak berfikir ketika kita mau memulai usaha dan berhasil, cukup
ikutin orang yang sudah berhasil.Kita ngeliatin polanya karena semua berpola.
Yaudah kakak belajar sama mentor-mentor. Ada beberapa orang yang konsen
dibidang digital marketing, jadi
kakak belajarnya terus bahkan sama semua orang yang kakak jumpai. Karena kalo
kita ngomong lebih dalam, sebenernya setiap orang punya value masing-masing. Meski sekadar tukang nasi goreng atau siapapun
itu pasti ada yang bisa dipetik.
Bagaimana sepak terjang terbentuknya EBI?
Sebenernya
awal-awal kuliah sebelum di EBI, kakak
jualan kuliner. Produknya tahu goreng yang kakak jual ke asrama-asrama ke
kelas-kelas lumayan banyak yang beli. Namanya tahu gledek, tahu fried chicken dalemnya pedes. Dari situ,
sehari bisa seratus, dua ratus pcs
untungnya lumayan. Produk itu kakak bikin sendiri, jadi kakak cari timsaat itu
timnya ada 3 orang, kakak, temen kakak anak Tarbiyah dan koki. Setelah laku
satu dua bulan, di bulan ketiga bangkrut karena keuntungn dan alat-alatnya
dibawa kabur sama kokinya. Kebetulan koki ini saudaranya temen kakak yang anak
tarbiyah ini. Makanya kakak percaya. Tapi namanya di bisnis masih awam gak
semudah itu kita ngasih kepercayaan ke orang, harus ada yang namanya kesepakan
yang jelas, MOU, hitam di atas putih dan kakak banyak belajar dari situ.
Berkembangnya EBI sejak kapan?
Sebenarnya
EBI ini projek idealisme, karena kakak dapet beasiswa bidikmisi kakak sekedar
ingin kasih feedback ke lingkungan, tapi
ternyata ketika ditekunin kok bisnis ini cukup menjanjikan, ada profit yang
bisa memberi dampak sosial. Akhirnya kakak kembangin terus. Tahun 2013
perlahan-lahan EBI mulai naik level. Kakak juga membuka diri dan belajar sama komunitas dan organisasi dan
teman-teman yang jauh lebih dulu berhasil juga lembaga-lembaga sosial NGO. Kakak
sempat dapat inkuibasi dari Bank Indonesia dari ILO juga. Bermodalkan keyakinan
dan ide, kakak dapet dana hibah 25 juta di
semester 3. Itu hasil seleksi dari bank Indonesia. Dari UIN ada empat
orang, kakak salah satunya. Sambil berjalan fasenya terus berdampingan sampai
satu tahun. Nah dari situ sempat membuka, kenapa engga EBI tadi kita seriusin.
Akhirnya Alhamdulillah smpai sekarang berjalan dan belajar terus.
Cikal terbentuknya nama EBI?
Nama
EBI berawal ketika ngobrol-ngobrol di Komus FEB bersama Bang Sarudi usai shalat
maghrib. Bang Sarudi juga menang anugrah dari Bank Indonesia, dia dapet 24 juta
lebih. Dia punya komunitas juga dibidang organik, mengelola kertas. Kakak tanya
ke Dia tentang nama apakira-kira yang bagus. Ya udah EBI aja, EBI itu dari awal
mula sebenernya kombinasi antara Edy dan
BI. Jadi kita dipertemukan waktu itu bikin projek bareng. Tapi semakin kesini
kita coba ganti filosofinya Eco Business Indonesia (EBI) jadi kita membangun
usaha yang berbasis Eco Friendly dan
berkembang sampai hari ini.
Berapa tim yang ikut serta mengembangkan
EBI?
Kalo
di EBI co-foundernya ada lima orang termasuk kakak, Ibu Eli, Andis, Imas dan Nadia.
Selain Bu Eli, sisanya anak UIN semua. Bu Eli merupakan produsen tas daur ulang
jadi prinsipnya kakak kolaborasi dan sinergi. Ibu Eli berdomisili di jalan
tidore di Cileduk dia memang udah punya usaha daur ulang jadi kita bantu inter
connecting aja. Kakak dan tim bangun akses, produsennya beliau. Terus lama-lama
kita improve dan terus ngembangin produk-produk baru. Kita juga memberikan
transfer knowladge, yang tadinya Ibu Eli cuma bisa sendiri, ilmunya dishare ke
ibu-ibu yang lain. Sekarang kita punya tim diproduksi lebih kurang 10 orang,
itu di daerah Kedaung.
Awal kenal dengan produsen daur ulang
sampah?
Awalnya
ada event pameran di UIN, itu acaranya PKPU. Kebetulan beliau isi stand. Kakak waktu itu jadi MC, kemudian
kakak ngobrol dan diskusi dengan beliau, akhirnya bismillah kakak silaturahim
ke rumah Bu Eli. Ternyata konsep beliau sama dengan konsep kakak dan kakak
belajar banyak dengan Bu Eli. Kakak belajar di tempat beliau di Cileduk. Waktu
itu belum ada nama usahanya yang penting jalanin aja. Intinya karena sudah
punya produk, sistemnya kakak beli putus. "Saya beli ya bu tapi nanti saya
jual lagi dengan brand saya." Beliau yang produksi, kakak yang jual atas nama EBI Bag.
Peran beliau untuk EBI seperti apa?
Beliau
banyak terlibat secara langsung di EBI. Yang dulunya bergerak sendiri, sekarang
punya rekanan dan juga Bu Eli dan tim ini jadi tenaga tutor. Jadi kalo kakak
ada event workshop dari kementrian, pendampingan, lembaga, atau kampus, kakak melibatkan
ibu-ibu ini sebagai tutor. sehingga ada pendapatan yang bisa mereka dapat
selain dari jualan produk daur ulang.
Adakah komunitas yang menjadi ruang belajar
untuk berbisnis?
Di
UIN yang khusus gitu engga ada, tapi ya kita sinergi aja sama mereka yang mau
kolaborasi sama HMJ, Dema Fakultas dan siapapun yang mau kita open. Kalo UIN secara langsung ya kita
paling kerjasama kalo ada event. Dulu, waktu kakak semester 3 belajar ke
mana-mana bahkan ke UI nyari komunitas entrepreneur
di sana karena di sini engga ada. Waktu itu gak ada komunitas entrepreneur jadi kakak inisiatif sama
temen-temen yang punya kegelisahan yang sama, punya usaha tapi gak punya wadah.
Akhirnya, kita bikin namanya UIN Preneurs. Foundernya kakak, Bang Cuplis yang
punya Pondok Sepedah, terus banyak tim yang masuk, ada Bang Darwis yang punya
Kamera Wisata, Bang Deni yang punya Ini Sablon dan Bang Ismed yang punya Sop
Duren Kepo.
Mengapa memilih daur ulang sampah menjadi
bisnis yang ditekuni?
Sebenernya,
kakak berfikir kalo kita udh nemuin bisnis yang tepat apapun komoditas jenis
bisnisnya itu bakal jalan. Cuma waktu kakak ngejalanin EBI ini boomingnya di sampah. Selain itu kakak
ada usaha lain juga, yaitu Sekolah komunikasi yang sesuai sama passion kakak. Awal-awal sempet bikin travel dan Event Organizer
bareng temen-temen tapi sekarang focus
ke EBI. EBI engga hanya jualan produk aja, kita juga konsultan, akselerator
program pemberdayaan jadi bantuin program-program pendampingan, pemberdayaan.
Kita. Ini event paling deket kita kerjasama bareng teman-teman di Garut kita
bikin namanya Aksi Berdayakan Indonesia (ABDI).
Sejauh ini, apa saja kendala yang dihadapi?
Kalo
sekarang yang paling kakak rasain sih di tim. Karena awalnya kan ini kegiatan
sosial jadi beberapa temen-temen co-founder lagi fokus mengembangkan kapasitas
dirinya untuk nanti fokus mengembangkan kapasitas dirinya untuk nanti balik
lagi. Mereka ada yang lagi S2 dan lain sebagainya. Jadi kakak lagi coba nyari
pola untuk membangun tim yang lebih solid.Tahun depan kami ingin buat EBI jadi
yayasan EBI Indonesia Foundation. Meski Yayasan tapi mandiri karena akan lebih
banyak kegiatan sosialnya.
Kalau
dari segi dana bukan jadi kendala berarti, mungkin targetnya belum terlalu
perlu dana untuk skill up dan segala macem. Yang penting kita punya market,
basis produk dan networkingnya ya Alhamdulillah ada perputaran disitu. Terakhir
kita juga ada link kerjasama denganPT. KOBE tapi nilai kontraknya engga besar
8.500.000 kita bikin handycraft dari sampah mereka yang kita olah kemudian kita
jual lagi ke mereka. Jadi kita ngga sekedar jualan langsung ke pembeli jadi
langsung ke B to B (business to
business). Kiita kerjasama ke lembaga-lembaga dan institusi gitu.
Target pasar EBI kemana saja?
Awalnya
engga tau mau ke mana targetnya, karena sekadar ingin kontribusi aja jadi kita
yang penting jalan aja. Sharing, jadi lama-lama kan learning by doing ketemulah dengan yang lebih ideal target
marketnya seperti lembaga dan orang-orang tapi emang yang lebih aware dengan lingkungan.
Berkembangnya EBI sejak kapan?
Semenjak
2015 kayanya, karena banyak media yang meliput hampir semua stasiun media mainstream, bahkan beberapa kalo ada curtomer yang masuk mereka taunya dari
internet. Jadi awal mula waktu itu Koran Sindo terus masuk detik.com langsung
ngeboost gitu. Sehingga punya satu
keperayaan diri lagi untuk ngelola sampah. EBI terus step by step termasuk yang kemaren belum lama ke Denmark dan Swedia
karena bawa kegiatan sampah. Bismillah aja kita, pelan-pelan ngebangun pondasi dan
menceritakan value yang kita bangundan serta
story yang udah kita jalanin.