Selasa, 11 Juli 2017

Resensi Buku Merantau Ke Deli

KISAH JELAGA
RUMAH TANGGA DUA SUKU
Siska Irma Diana

 Judul               : Merantau Ke Deli
Penulis             : Prof. Dr. Hamka
Penerbit           : Bulan Bintang 1977
Jumlah             : 194 halaman
Cet. pertama    : 1982

Buku ini secara garis besar bercerita mengenai rumah tangga dengan adat yang berbeda. Poniem yang berasal dari jawa sedangkan Leman dari minang. Di awal pernikahan mereka saling bahu-membahu membangun rumah tangga. Setelah 10 tahun kemudian rumah tangga itu mulai retak. Konfik cerita dimulai ketika Leman menikah lagi. Sebagai lelaki minang, Leman ditekan oleh keluarga supaya mengawini seorag gadis yang sederajat untuk meneruskan adat dan budayanya.

Semakin lama Leman termakan bujuk rayu keluarganya di kampung halaman dan menerima untuk menikah kembali dengan gadis minang. Leman bersumpah kepada Poniem tidak akan mengabaikannya dan selalu menjaga perasaannya sebagai istri pertama. “Demi Allah! ke atas biarlah kanda tak berpucuk, ke bawah tak berurat, kalau sekiranya engkau kusia-siakan” (Hamka, 1977: 89). Namun janji tinggalah janji. Istri muda Leman lebih pandai berdandan dan merebut perhatian Leman agar lebih mencintainya. Pertengkaranpun mulai terjadi. Perdagangan Leman yang selama ini dibantu Poniem pun hendak dikuasainya. Awalnya Leman merasa serba salah namun lama-kalamaan Leman berpihak kepada istri mudanya.

Ketidakrukunan Poniem dengan istri muda Leman menyebabkan pertengkaran hebat yang mengakibatkan Leman menceraikan Poniem. Sejak saat itu Poniem pergi dari rumah dan meninggalkan tanah Deli. Sejak kepergian Poniem, perdagangan Leman mulai mengalami kehancuran ditambah lagi dengan sikap tamak istri mudanya. Leman baru menyadari, selama ini Leman banyak terbatu oleh ketekunan Poniem dalam berdagang. Tapi nasi telah menjadi bubur, tinggalah penyesalan yang dirasakan Leman.

Poniem akhirnya menemukan jodoh barunya yang lebih memahami dan menghargai dirinya yaitu Suyono yang juga merupakan keturunan jawa. Suyono tak lain adalah pekerja dikedainya dahulu. Mereka memulai perdagangan dengan sedikit modal, hingga akhirnya berhasil membeli tanah dan rumah. Sedangkan Leman semakin hari semakin terpuruk hingga harus membanting tulang mengidupi keluarganya.

Di akhir cerita Poniem dan Suyono menemui Leman. Derai air mata tak bisa terelakkan ketika Poniem memberikan beberapa logam uang kepada anak Leman. Penyesalan yang mendalam begitu terasa, Leman tak lagi sanggup hidup di tanah Deli hingga memutuskan kembali ke kampung halamannya dan menghabisnya sisa usianya untuk menjalankan kehidupan sebagaimana adat istiadat Minang.

Pemakaian Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam buku ini cukup mudah dipahami, meski menggunakan bahasa melayu khas minang tapi lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Namun ada beberapa kosa kata minang seperti mabur, gendak, mengecek, di tokohnya, badaman dll yang sulit dimengerti pembaca. Tetapi buku ini memberikan penjelasan dibagian catatan kaki.

Kelebihan dan Kekurangan
Dalam pemaparan cerita buya Hamka terlihat lihai memainkan kata-kata. Terlebih dibumbui apik dengan adat yang kental dari tanah sumatera. Pada cerita ini juga begitu lekat dengan pelajaran kehidupan yang dapat diambil. Latar belakang keilmuan Buya membuat buku ini lebih dari sekedar cerita fiksi, ia berharga untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan. Dalam buku ini tampak juga kepribadian suatu suku bangsa yang menjadi warna khas di Indonesia.

Namun segala hal tidaklah ada yang sempurna sebab kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Begitu pula dengna Merantau ke Deli, buku ini memang agak kontrovesial. Menurut saya awal terbentuknya buku ini sempat menuai kritikan dari para tokoh minang, karena dianggap menjelek-jelekan adat Minang. Untunglah yang mengarang Roman ini adalah buya Hamka yang merupakan anak sejati ranah Minang. Disamping itu buku ini juga menggunakan ungkapan-ungkapan yang tidak diberi penjelasan makana seperti “maka cerahlah langit teranglah awan, hakikat  keberan itu tampaklah, sebab bila hawa nafsu telah lepas, tinggalah tanggungan bathin yang maha berat” (Hamka, 1977: 124).

Kesimpulan

Buku ini layak dibaca oleh kalangan remaja maupun dewasa. Buku yang begitu sarat akan makna kehidupan dalam berumah tangga. Pahit manisnya  lentera kehidupan  serta permasalahan terjal dan berliku yang dialami menjadi renungan bagi yang sudah ataupun belum menikah. Bahwa tidaklah mudah menjalin rumah tangga terlebih berbeda adat istiadat. akan tetapi apapun latar belakang suku, tabiatlah yang mengendalikan manusia hingga mencapai taraf hidup yang bahagia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Unggul

Bisnis Media Ala Mahasiswa

                                          Sumber gambar  http://kmfjakarta.com/ Selamat berkunjung sobat rupiah, dalam artike...

Postingan Populer