KISAH
JELAGA
RUMAH
TANGGA DUA SUKU
Siska
Irma Diana
Judul : Merantau Ke Deli
Penulis :
Prof. Dr. Hamka
Penerbit :
Bulan Bintang 1977
Jumlah :
194 halaman
Cet. pertama :
1982
Buku ini secara garis besar bercerita mengenai rumah
tangga dengan adat yang berbeda. Poniem yang berasal dari jawa sedangkan Leman
dari minang. Di awal pernikahan mereka saling bahu-membahu membangun rumah
tangga. Setelah 10 tahun kemudian rumah tangga itu mulai retak. Konfik cerita
dimulai ketika Leman menikah lagi. Sebagai lelaki minang, Leman ditekan oleh
keluarga supaya mengawini seorag gadis yang sederajat untuk meneruskan adat dan
budayanya.
Semakin lama Leman termakan bujuk rayu keluarganya
di kampung halaman dan menerima untuk menikah kembali dengan gadis minang.
Leman bersumpah kepada Poniem tidak akan mengabaikannya dan selalu menjaga
perasaannya sebagai istri pertama. “Demi Allah! ke atas biarlah kanda tak
berpucuk, ke bawah tak berurat, kalau sekiranya engkau kusia-siakan” (Hamka,
1977: 89). Namun janji tinggalah janji. Istri muda Leman lebih pandai berdandan
dan merebut perhatian Leman agar lebih mencintainya. Pertengkaranpun mulai
terjadi. Perdagangan Leman yang selama ini dibantu Poniem pun hendak
dikuasainya. Awalnya Leman merasa serba salah namun lama-kalamaan Leman
berpihak kepada istri mudanya.
Ketidakrukunan Poniem dengan istri muda Leman
menyebabkan pertengkaran hebat yang mengakibatkan Leman menceraikan Poniem.
Sejak saat itu Poniem pergi dari rumah dan meninggalkan tanah Deli. Sejak
kepergian Poniem, perdagangan Leman mulai mengalami kehancuran ditambah lagi
dengan sikap tamak istri mudanya. Leman baru menyadari, selama ini Leman banyak
terbatu oleh ketekunan Poniem dalam berdagang. Tapi nasi telah menjadi bubur,
tinggalah penyesalan yang dirasakan Leman.
Poniem akhirnya menemukan jodoh barunya yang lebih
memahami dan menghargai dirinya yaitu Suyono yang juga merupakan keturunan
jawa. Suyono tak lain adalah pekerja dikedainya dahulu. Mereka memulai
perdagangan dengan sedikit modal, hingga akhirnya berhasil membeli tanah dan
rumah. Sedangkan Leman semakin hari semakin terpuruk hingga harus membanting
tulang mengidupi keluarganya.
Di akhir cerita Poniem dan Suyono menemui Leman.
Derai air mata tak bisa terelakkan ketika Poniem memberikan beberapa logam uang
kepada anak Leman. Penyesalan yang mendalam begitu terasa, Leman tak lagi
sanggup hidup di tanah Deli hingga memutuskan kembali ke kampung halamannya dan
menghabisnya sisa usianya untuk menjalankan kehidupan sebagaimana adat istiadat
Minang.
Pemakaian
Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam buku ini cukup mudah
dipahami, meski menggunakan bahasa melayu khas minang tapi lebih banyak
menggunakan bahasa Indonesia. Namun ada beberapa kosa kata minang seperti mabur,
gendak, mengecek, di tokohnya, badaman dll yang sulit dimengerti pembaca.
Tetapi buku ini memberikan penjelasan dibagian catatan kaki.
Kelebihan
dan Kekurangan
Dalam pemaparan cerita buya Hamka terlihat lihai
memainkan kata-kata. Terlebih dibumbui apik dengan adat yang kental dari tanah
sumatera. Pada cerita ini juga begitu lekat dengan pelajaran kehidupan yang
dapat diambil. Latar belakang keilmuan Buya membuat buku ini lebih dari sekedar
cerita fiksi, ia berharga untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan. Dalam
buku ini tampak juga kepribadian suatu suku bangsa yang menjadi warna khas di
Indonesia.
Namun segala hal tidaklah ada yang sempurna sebab
kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Begitu pula dengna Merantau ke Deli, buku ini memang agak kontrovesial. Menurut saya
awal terbentuknya buku ini sempat menuai kritikan dari para tokoh minang,
karena dianggap menjelek-jelekan adat Minang. Untunglah yang mengarang Roman
ini adalah buya Hamka yang merupakan anak sejati ranah Minang. Disamping itu
buku ini juga menggunakan ungkapan-ungkapan yang tidak diberi penjelasan makana
seperti “maka cerahlah langit teranglah awan, hakikat keberan itu tampaklah, sebab bila hawa nafsu
telah lepas, tinggalah tanggungan bathin yang maha berat” (Hamka, 1977: 124).
Kesimpulan
Buku ini layak dibaca oleh kalangan remaja maupun
dewasa. Buku yang begitu sarat akan makna kehidupan dalam berumah tangga. Pahit
manisnya lentera kehidupan serta permasalahan terjal dan berliku yang
dialami menjadi renungan bagi yang sudah ataupun belum menikah. Bahwa tidaklah
mudah menjalin rumah tangga terlebih berbeda adat istiadat. akan tetapi apapun
latar belakang suku, tabiatlah yang mengendalikan manusia hingga mencapai taraf
hidup yang bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar